Kamis, 17 Juni 2010

Semar Gugat



Alam murka, hutan terbakar, hujan dan banjir melanda dimana-mana, petir menyambar-nyambar, angin puting beliung mengamuk tiada henti. Gunung-gunung meletus, bumi memuntahkan cairan panas kental berwarna hitam legam. Manusia berlarian kesana-kemari mencari selamat. Mereka dibuat bingung dan gelisah hampir tak ada yang sempat memikirkan orang lain. Sementara saat kemarau air menghilang, tanah-tanah mengering, tanaman menjadi layu dan mati. Hewan dan manusia banyak yang sakit dan kelaparan. Udara panas karena polusi. Itulah buah yang harus dipetik sebagai hasil dari perbuatannya sendiri.
Sekelumit gambaran diatas adalah kenyataan kehidupan manusia saat ini. Alam dipaksa dan ditundukkan tanpa memperhatikan kelestariannya. Semua yang ada diambil dan dikuras untuk memenuhi kerakusan manusia yang berujung pada murkanya alam. Ngunduh Wohing Pakarti, itulah kolo bendu yang harus ditanggung karena manusia mau dan rela menjalani Jaman Edan. Semua alur kehidupan tergerus dalam Jaman edan, manusia edan, dewa-dewa edan dan seluruh lakon kehidupan juga sama-sama edan, semua tokoh wayang dalam kotak ikut terseret dalam krisis besar kehidupan yang dapat difahami dengan istilah KRISIS KEBUDAYAAN, sebagaimana contoh; Narodo yang ikut larut dan menyusup dalam tubuh Kanekojati. Tak mau kalah dalam menyemarakan jaman edan, Dosomuko ikut menyusup pila pada tubuh Ontorejo. Maka kehidupan menjadi kacau balau, karena semuanya larut dalam prahara. Dewa-dewa menyusup pada manusia dan ikut mendorong lahirnya pertempuran dan penghancuran tatanan kehidupan. Inilah yang menjadi awal cerita tentang “Semar Gugat”. Gugat karena tinggal Kresno, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bertahan dari arus krisis kehidupan dan menjadi kekuatan Tri Tunggal yang berusaha untuk menata kembali kehidupan.
Adalah sebuah kisah tentang krisis yang terjadi di kerajaan Amarta, karena raja Puntodewo yang bertahta dan memegang titah kurang memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik, dan justru terdengar kabar bahwa Prabu Puntodewo hendak menyatukan kerajaan Amarta dengan kerajaan Astina yang dipimpin oleh Prabu Duryudono. Mendengar kabar tersebut maka Prabu kresna mengadakan pertemuan agung yang diikuti oleh Bolodewo, Setyaki, Sombo, Udowo untuk membahas persoalan krisis yang terjadi di kerajaan Amarta. Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan munculah Ontorejo yang mengadu kepada Prabu Kresna tentang sikap Puntodewo yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakat dan pemudanya. Ontorejo berbicara dengan nada marah dan menyalahkan Prabu Kresna karena dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku Prabu Puntodewo. Ontorejo yang wajahnya nampak merah padam itu sebenarnya telah disusupi oleh Dosomuko.
Mendengar kemarahan Ontorejo, maka Baladewa tidak dapat membendung amarahnya. Ontorejo sudah dianggap kurang ajar dan tidak punya tata karma. Terjadilah perang mulut yang sengit. Ontorejo diseret keluar oleh Bolodewo. Keadaan semakin memanas. Disaat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan pada Prabu Kresno untuk melihat keadaan semakin rusaknya kerajaan Amarta. Semar menyindir pada Prabu Kresna sebagai dewa ketentraman dan Puntodewo sebagai dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Semar menyerahkan persoalan besar tersebut pada Prabu Kresno untuk dapat menarik kembali pendowo agar tidak berkumpul dan menyatu dengan kurawa di Astina. Sementara Semar akan segera naik ke kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di kadewatan yang menjadi sebab atas berbagai persolan yang terjadi di Amarta. Ia merasa ada pandito yang bernama Sabdo Dewo yang ternyata telah disusupi oleh Batara Guru.
Kerajaan Ombak Samudera
Prabu Kanekojati bersama-sama dengan Togok dan Bilung berada dalam suatu pembicaraan. Prabu Kanekojati yang didalam dirinya telah disusupi oleh Narodo mengutarakan niatnya yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjajah tanah JAWA. Maka dari itu prabu Kanekojati dari awal sudah menyiapkan siasat dengan jalan mengutus begawan Sabdo Dewo untuk menyatu dengan Astina. Bagi Prabu Kanekojati, tanah Jawa adalah tanah yang dikaruniahi dengan kekayaan alam yang maha melimpah. Masyarakatnya hidup dalam suasana tentram dan damai. tradisi dan kebudayaan yang adi luhung membuat masyarakat yang hidup ditanah Jawa memiliki pengetahuan yang tinggi serta budi pekerti yang luhur. Tanah Jawa adalah tanah yang didalamnya terbangun peradaban yang maju, terutama dibidang kesusastraan, pertanian, ketataprajaan, keprajuritan, seni budaya dan lain sebagainya. Tanah Jawa juga dikenal dengan kedalaman cipta, rasa dan karsa yang mewujud berupa ketinggian dan keluasan akal budi, kedalaman spiritual dan ke adi luhungan seni budayanya. Namun hasrat untuk menjajah tanag Jawa itu mendapat nasehat dari Togog dan Bilung agar tidak dilanjutkan. Mereka berdua mengharap agar Prabu Kanekajati mengurungkan niatnya. Namun Prabu Kanekojati tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan ia segera menyiapkan pasukannya untuk menyerang tanah Jawa. Ditengah perjalanan pasukan mereka bertemu dengan prajurit Dorowati yang diikuti oleh putera-putera Pandawa seperti Gatutkoco, Wisanggeni, Ontoseno dan lain-lain. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat.
Werkudoro dan Nogo Gini
Nogo Gini memendam amarahnya pada Werkudoro karena sebagai istri ia sangat jarang diperhatikan. Namun Werkudoro selalu berkilah jikalau ia dianggap tidak memperhatikan Nogo Gini. Karena sangat kesal pembicaraan yang membahas tentang biduk keluarga mereka sedikit memanas. Nogo Gini mengungkit bahwa Werkudoro tidak sayang dan memperhatikan keluarga dengan baik. Ini terbukti dengan diamnya Werkudoro padahal anaknya sendiri Ontorejo dihajar dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bolodewo. Akhirnya beranglah hati Werkudoro mendengar kalau anaknya dihajar oleh Bolodewo. Ia segera berangkat menacari Bolodewo. Pertempuran sengit tak bisa dihindarkan. Namun belum sempat jatuh korban segera Prabu Kresno melerai pertempuran diantara mereka. Segera Prabu Kresno mendatangkan Hanoman yang memiliki aji pengkabaran untuk melihat kedalam diri Ontorejo yang ternyata sudah disusupi oleh Dosomuko. Maka wajar bila
sikap Ontorejo menjadi sangat kasar pada Prabu Kresno dalam pertemuan agung. Hanoman segera mengeluarkan Dasamuka dari diri Ontorejo. Prabu Kresno memberikan wejangan bahwa pemuda-pemuda harus memiliki pengetahuan dan membangun dirinya dengan pengetahuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Karena jika para pemuda tidak memiliki konsep dan aktivitas yang jelas, maka akan sangat gampang dirinya disusupi oleh Dosomuko sebagai simbul ganasnya penyusupan kebudayaan asing ditengah-tengah kita. Prabu Kresna juga menyampaikan pada Werkudoro dan Bolodewo bahwa ia sedang mencari siapa yang mampu menandingi kesaktian Sabdo Dewo dan Kanekojati. Bahkan Prabu Kresna mencarinya hingga ke kahyangan.
Pertapaan Sapto Argo
Begawan Abiyoso menerima kedatanag Abimanyu yang diiringi oleh Gareng, Petruk, Bagong. Disana mereka diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai kesatria. Begawan Abiyasa memberikan lima prinsip dasar yang harus dilaksanakan seorang kesatria; Pertama; Rumekso Kayuwaning Projo. Kedua; Ngayomi Poro Pandito Resi. Ketiga; Tresno Marang Bongso lan Welas-Asih Marang Sapodo-Padaning Tumitah. Keempat; Setyo Tuhu Marang Janji Sarto Nuhoni Marang Sabdo Kang Wus Kawedar. Kelima; Tunduk Marang Bebener Kang Adedasar Adil. Serta lima hal yang harus dimiliki oleh seorang kesatria; Satu; Guno, Dua; Sudiro, Tiga; Susilo, Empat; Anurogo, dan Lima; Sambirogo.
Setelah mendapatkan wejangan dari bagawan Abiyoso, Abimanyu diminta untuk segera berangkat mencari begawan Pamintosih (perwujudan dari Semar) yang sedang laku “Topo ngrame”artinya bertirakat dikeramaian. Diperjalanan, Abimanyu dihadang bala tentara Ombak Samudera dan terjadilah perang kembang. Pertempuran yang hebat itu dimenangkan oleh Abimanyu.
Pertapaan Condro Wulan
Begawan Kanesworo Yekso dan Putri Dewi Kanesworo Wati ingin mencari ketenangan dan ketentraman batin, namun jalan ketenangan itu terganggu karena ia tergila-gila pada Janoko. Akhirnya Kanesworo Wati berangkat menuju Amarta. Diperjalanan bertemu dengan Abimanyu dan terjadilah perang yang sangat hebat. Karena kesaktiannya Abimanyu terpenatal hanya dengan bentakan saja. Tubuhnya terlempar sangat jauh hingga jatuh dipangkuan begawan Pamintosih (Semar).
Di Astina pura juga sedang terjadi pembicaraan serius. Duryudono, Puntodewo, Janoko, Nakulo dan Sadewo, berkumpul dengan Begawan Sapto Dewo membicarakan gagalnya perang barotoyudho. Perang itu akan gagal dengan cara membunuh Semar. Janoko menyanggupi menjalankan misi tersebut. Lalu Janoko mencari Semar untuk dibunuh, namun tidak disadari bahwa dibalik itu begawan Sapto Dewo ikut bermain dan mendorong Janoko secara halus.
Diperjalanan Janoko bertemu dengan Kanesworo Yekso, terlibatlah perang tanding hingga Janoko tak mampu meladeni kesaktiannya. Tubuh Janoko terpental sangat jauh dan terjatuh dipangkuan begawan “Pamintosih” yang sesungguhnya adalah Semar. Janoko akhirnya bertemu dengan Abimanya. Mereka tidak mengetahui bahwa begawan Pamintosih itu adalah Semar. Janoko dan Abimanyi meminta pertolongan pada begawan Pamintosih agar mereka bisa mengalahkan Sabdo Dewo. Terjadilah perang antara Pamintosih dengan Kanesworo Yekso. Pertempuran tersebut sampai merubah Pamintosih ke wujud asal sebagai Semar dan Kanesworo Yekso sebagai Betari Kanestren yang tidak lain adalah istri semar sendiri. Lalu kanesworo Wati disabda oleh Semar dan kembali ke wujud awal yakni menjadi Sumpingnya Puntadewa.
Terjadilah perang alang-alang kumitir yang melibatkan Kresna, Wisanggeni dan Semar. Mereka bertiga berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negaranya yang sedang dilanda krisis disegala bidang. Semar mengatakan pada Kresna dan Wisanggeni untuk memetik hikmah dari semua kejadian ini. Sebab ada kalanya dijaman edan ini dewa-dewa juga sama-sama ikut edan. Orang yang sadar dan ingat tiba-tiba ikut hanyut pada keadaan. “Sing iling dadi gendeng sing gendeng dadi eling”. Inilah dinamika kehidupan dijaman yang serba gila ini. Semar terus bertutur pada Kresna dan Wisanggeni untuk meneguhkan mereka menjadi Tri tunggal yang dapat bersama-sama menata kembali kehidupan. Disertai Kresna dan Wisanggeni inilah Semar melakukan Gugat pada kehidupan dan mengadu pada Sang Hyang Wenang Tuhan Yang Maha Kuasa.
Disunting : Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar